Saturday, April 23, 2011

catatan 3

Baru saja terima SMS dari seorang teman, yang bilang sedang menyiapkan surat perceraian.
Satu ikatan akan terputus.
Ikatan yang dulu disampaikan dengan penuh cinta, disaksikan banyak orang, disahkan oleh agama dan negara.

Haruskah berpisah?
Itu pertanyaan semua orang. Dan saya yakin jadi pertanyaan teman saya dan pasangannya sebelum keduanya memutuskan untuk melaju ke tahap yang lebih jauh: cerai.
Teman saya itu, juga pasangan lain yang sedang dihantam badai, punya alasan kuat untuk berpisah.
Apa pun itu, menurut saya, mereka yang paling tahu tentang cuaca hati dan pikiran.
Kita, hanya bisa mendengarkan.
Kita, hanya boleh menjawab sesuai pengetahuan dan pengalaman sendiri.
Segala sesuatunya, berpulang pada teman yang memutuskan itu.

Tetapi bolehkah berpisah?
Lepas dari aturan agama masing-masing, menurut saya, kalau perpisahan justru membuat kedua belah pihak hidup lebih damai, tenang dan bahagia: biarlah itu berlangsung.
Istri yang bahagia -karena tak lagi terikat pada suami yang menyusahkan jiwa dan raga- akan membuat anak-anaknya bahagia.
Istri yang tertekan -karena terikat oleh suami yang menyiksa tubuh dan pikiran- akan membuat anak-anaknya tertekan pula.

Jadi bolehkah berpisah?
Hidup adalah pilihan.
Kita bisa memilih, memutuskan dan kemudian menjalaninya dengan berani.

catatan 2

Mengapa kita menikah?
Karena terlanjur umur sudah banyak?
Karena ayah dan ibu begitu cerewet mendesak setiap kita berulang tahun?
Karena ayah dan ibu ingin cepat punya cucu?
Karena semua teman-teman sepermainan sudah punya anak dan memandang kita dengan iba?
Karena hidup bersama lelaki yang duduk di seberang sana membuat hidup jadi makmur dan sejahtera?
Karena kita tak ingin menyandang sebutan perawan tua atau jejaka lapuk?
Karena ajaran agama berkata bahwa sebaiknya makhluk ciptaan termulia ini hidup berpasangan dan berkembang biak memenuhi bumi? 

Atau karena kita ingin menjalani hari-hari selanjutnya dengan seseorang yang bisa membuat hari-hari sebelumnya yang begitu biasa jadi luarbiasa? 

Semua orang punya alasan sendiri mengapa ia ingin menikah.
Tetapi pada akhirnya, baiknya kita sepakat bahwa menikah itu bukan sekedar pesta meriah di satu malam, atau bulan madu di pulau eksotik di tengah samudra, 
atau perubahan status di KTP dan punya kartu keluarga baru.
Memilih menikah adalah keputusan penting yang menyangkut hati dan akal sehat.
Menikah -termasuk di dalamnya aturan negara dan agama- adalah keputusan dua orang dewasa untuk menjalani hidup baru, membentuk keluarga baru, menjadi satu, saling dukung, saling cinta, saling setia, hingga hari-hari habis dijalani.

Itu menurut kami berdua.
Setujukah Anda?

catatan 1

Ketika pertama kali berkenalan, saya terkagum-kagum akan banyaknya cerita yang ia sampaikan dalam semalam.
Begitu banyak, sehingga kami terus terjaga hingga pagi.
Hari-hari lewat, dan ceritanya masih tak habis juga.
Pada suatu hari, di sela-sela ceritanya yang banyak dan selalu membuat saya duduk manis mendengarkannya, ia menyelipkan kalimat yang lain bunyinya. Sebuah tawaran –bukan cerita.
Ia mengajak saya jadi pasangan hidupnya.
Katanya, dengan begitu ia bisa terus bercerita, leluasa, tanpa harus pulang karena jam berkunjung pacaran sudah selesai.
Saya menjawab ya. Siapa bisa lepas dari ceritanya (dan ilmu-ilmu baru yang ia punya, dan kepandaian membuat ini itu yang ia bisa…)

Ternyata, setelah kami bersama, ia mulai sering diam, karena punya kegemaran baru: mendengarkan cerita yang saya sampaikan.
Cerita yang dulu tak pernah ingin saya bagikan kepada siapa pun (karena merasa tak punya cerita yang indah untuk disampaikan).
Ia membuat saya mendengarkan suara sendiri,
Suara yang saya pikir –dulu- tak pernah ada.

Kami masih bersama.
Kami masih saling berbagi cerita.
Tentu tak selalu indah, tetapi kami tetap berbagi.
Tetap bicara, sambil selalu bergantian mendengarkan.

Terima kasih, Pak.